Senin, 10 Desember 2007

MDGS dan Bahaya Kemiskinan Bagi Indonesia


Oleh: M. Agus Budianto


INDONESIA menjadi tuan rumah Regional Ministerial Meeting on Millenium Development Goals (MDGs) in Asian Pasivic, yang di selenggarakan di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Pertemuan itu diadakan guna mambahas kesiapan Negara-Negara Asia Pasifik dalam menghadapi Millennium Summit yang akan di selenggarakan pada bulan September 2005. Pertemuan tingkat Menteri perwakilan 41 negara di kawasan Asia Pasifik itu bertujuan membahas dan merumuskan program-program yang di canangkan PBB bagi Negara-Negara anggotanya dalam menghadapi abad millennium pada tahun 2015.

MDGs yang di deklarasikan pada tahun 2000 itu memuat delapan target yang harus dicapai oleh Negara-Negara miskin dan berkembang terutama Negara-Negara kawasan Asia Pasifik dan Afrika. Diantara delapan target yang harus dicapai itu diantaranya, mengenai penanggulangan kemiskinan dan kelaparan. Yaitu pada poin pertama dari delapan target pencapaian tersebut.

kenyataan bahwa kemiskinan adalah merupakan salah satu ancaman yang merugikan bagi Negara. Baik bagi Negara miskin dan berkembang maupun juga ancaman bagi dunia global. Saat ini, di dunia terdapat 700 juta lebih orang menderita kemiskinan, serta terancam mati oleh karena mereka hidup dengan biaya kurang dari 1 dolar AS perhari. Belum lagi ratusan juta orang lainnya terancam keberadaannya akibat tereserang komplikasi kemiskinan. Kemiskinan dengan segala bentuk ekspresinya, seperti kelaparan, penyakit mematikan, dan degradasi lingkungan, akibat dari pemenasan global dan modernisasi.

Pertumbuhan Penduduk
Bisa kita lihat bahwa, meningkatnya angka kemiskinan tidak pernah lepas dari tingkat pertumbuhan populasi manusia. Hampir setiap tahun jumlah pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan yang menghawatirkan. Menghawatirkan karena peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk tersebut juga memperparah angka pengangguran yang sampai saat ini masih merupan fenomena yang menggejala di tanah air. Kalau memang benar demikian lalu apa sebenarnya yang terjadi?

Merujuk pada data Statistic survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), biro pusat statistic menggambarkan sekaligus memprediksikan terjadinya tren peningkatan pengangguran terbuka dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2009. yang berakibat pada pertambahan penduduk miskin. Ironis memang, mari kita kaji bersama.

Saat deklarasi MDGs di tandatangani pada tahun 2000, penduduk Indonesia saat itu berjumlah 205,7 juta jiwa, dari jumlah tersebut tercatat ada penambahan sekitar 68 juta dalam kurun waktu 25 tahun. Maka, dapat disimpulkan secara rata-rata ada penamabahan jumlah penduduk sebesar 2,72 persen, itu untuk Indonesia saja.

Tingkat pertumbuhan penduduk itu tergolong tinggi meski presentase jumlah penduduk tebesar itu lebih dipengaruhi pada besarnya kelompok usia 15 tahun hingga 65 tahun yang mencapai angka sebesaar 68,7 persen. Sementara yang berada pada kelompok 0 tahun hingga 14 tahun, yang juga merupakan indicator tingkat presentase kelahirannya menurun dari 30,7 persen menjadi 22,8 persen. Meski samar jumlah relativenya sama, yakni sekitar 62,4 juta jiwa.

Tegasnya untuk mengantisipasi semakin menggejalanya angka pertumbuhan penduduk yang berdampak pada pengangguran dan kemiskinan. Solusi terbaik adalah, diharapkan pemerintah serta kesadaran masyarakat untuk berperan serta dalam menggalakkan dan mengkampanyekan layanan pemerintah yaitu, keluarga sejahtera, Keluarga Berencana (KB) terutama bagi keluarga miskin.

Bencana Kemiskinan
Hemat penulis, pada era Pemerintahan Orde Baru (baca: Soeharto), dalam usaha-usaha penanggulangan kemiskinan, cukup bisa dikatakan berhasil, -untuk tidak mengatakan sepenuhnya- keberhasilan tersebut bisa dilihat dalam perjalanannya, pada tahun 1976-1996 jumlah penduduk miskin untuk Indonesia, terus mengalami penurunan secara darastis. Pada tahun 1976, tercatat jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta jiwa atau 40,1 persen dari jumlah penduduk. Tahun 1996 turun drastis menjadi 22,5 juta atau hanya sekitar 11,3 persen.

Namun, pada saat krisis ekonomi yang melanda pada pertenganhan tahun 1997 seakan menistakan usaha dan program yang dijalankan pemerintah. Dampaknya, tidak tanggung-tanggung, jumlah penduduk miskin meningkat hingga 49,5 juta atau 24,2 persen dari total jumlah penduduk saat itu. Secara rata-rata angka peninkatan itu sebanyak dua kali lipat pada masa kejayaannya. Tingginya angka tersebut jug diperparah oleh banyaknya perusahaan/sentra ekonomi yang mengeluarkan maklumat Putus Hubungan Kerja (PHK), dan banyak diantara mereka menghentikan kegiatan ekonominya alias gulung tikar.

Baru ketika kondisi politik dan perekonomian Indonesia mulai stabil pada pertengahan tahun 2000, jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang hingga mencapai 37,3 juta atau sekitar 19 persen. Tahun 2001, tercatat jumlah penduduk miskin turun meski tidak signifikan, mencapai 37,1 juta dari total penduduk. Sementara tahun 2004 penduduk miskn terus mengalami penurunan hingga menjadi 36,1 juta atau sekitar 16,6 persen. (Kompas,6/8)

Lalu….apakah realitas itu mampu bertahan lama? Tidak, jawabannya. bencana alam kembali datang seakan tak kenal henti. Mulai dari dari gempa bumi di alor, NTT, Papua, hingga bencana tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), serta baru-baru ini penyakit busung lapar, malaria dan berbagai penyakit mematikan lainnya yang memakan ratusan ribuan korban jiwa, justru mengakibatkan angka penduduk miskin terus bertambah hingga 54 juta jiwa.

Hemat penulis, langkah solutif dalam penangannya adalah, dibutuhkan keseriusan dan respons yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat guna mengantisipasi semakin tingginya angka pertumbuhan penduduk, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Dengan cara pembangunan di segala bidang, terutama di bidang perekonomian, baik perekonomian yang bersecala local maupun nasional, guna menyerap banyak tenaga kerja dari masyarakat. Bila tidak, Indonesia akan gagal dalam mencapai delapan target MDGs abad millennium pada tahun 2015, atau Indonesia akan masuk pada kategori The Least Developing Countries (LDCs/Negara terbelakang). Semoga tidak terjadi. Wallahu wa’lam.
Tulisan ini pernah dimuat di harian pagi Bernas Jogja. Senin Pahing, 8 Agustus 2005

0 komentar: