Senin, 10 Desember 2007

KHARISMA DALAM KEMIMPINAN ISLAM


Oleh: M. Agus Budianto

Pendahuluan

Max Weber menempati posisi penting dalam perkembangan sosiologi. Signifikannya tidak semata-mata bersifat histories; ia juga menjadi sebuah kekuatan yang sangat berpengaruh dalam sosiolgi kontemporer. Bahkan ia seringkali di anggap sebagai perumus teori sosiologi klasik paling penting karena telah melakukan banyak penelitian dalam berbagai bidang, serta pendekatan dan metodenya banyak membantu analisa sosilogis kemudian. Seperti Karl Marx, Weber memiliki ketertarikan dalam berbagai bidang, seperti politik, sejarah, bahasa, agama, hukum, ekonomi, administrasi, di samping tentunya sosiologi.

Makalah ini sengaja tidak akan mengulas kesuluruhan ide dan gagasan besar Weber tentang sosilogi yang secara umum berporos pada tiga konsep: tradisi, kharisma, dan rasionalitas, serta konsep metodologisnya yang terkait dengan tiga skema konseptual: mode otoritas legitimate, tipe ahli keagamaan, dan tipe dasar aksi sosial. Tetapi makalah ini hanya membahas dan mendiskusikan sosiologi Islam dalam arti sesuai judul dengan makalah ini akan membahas kharisma dalam Islam, kharisma dalam Islam sampai detik ini sering dimaknai sebagai sebuah penggambaran bahwa dalam kepemimpinan Islam tidak sedemokratis dalam kepemimpinan barat (agama Kristiani), yang demkratis dan liberal. Mereka di pilih oleh rakyatnya secara langsung dan harus bertanggung jawa penuh terhadap tugas-tugas yang di embannya. Berbeda dengan Islam yang model kepemimpinannya terkesan lebih kepada system kehkalifahan yang tentunya yang berhak menggantikan dan melanjutkan kepemimpinan selanjutnya hanyalah bagi mereka keturunan atau yang masih keluarga raja. Lalu pertanyaannya sejauh mana Weber dalam memandang dan menafsirkan kasus kharisma dalam agama Islam.

Pembahasan
Weber mengartikan kharisma adalah gejala sosial yang terdapat pada waktu kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Weber menekankan bahwa yang menentukan kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya. Pengakuan atau kepercayaan kepada tuntutan kekuatan gaib merupakan unsure intergral dalam gejala kharisma. Kharisma adalah pengakuan terhadap suatu tuntutan sosial.

Dalam ensiklopedi Gereja, istilah Kharisma mempunyai arti sesuatu karunia istimewa yang di anugrahkan Tuhan kepada orang-orang tertentu supaya di abdikan kepada sesama Gereja. Misalnya. Karunia untuk merasul. Untuk bernubuat untuk menyembuhkan, untuk membeda-bedakan bermacam-macam roh dan untuk memberi kesaksian tentang iman di kehidupan sehari-hari.

Karisma bagi tradisi Jawa misalnya, akan datang dan pergi bersama kekuatan metafisik. Dalam tradisi politik Islam, mungkin sebanding dengan farri izzati, anugerah Tuhan yang dikonstruksikan secara teologis dan sosiologis. Maknanya apa? Bahwa karisma atau citra serba ideal yang dilekatkan pada figur atau otoritas tertentu bukanlah sesuatu yang abadi. Bukan sesuatu yang sebenarnya serba sakral dan luput dari perubahan. Karisma itu dapat mengalami krisis. Lebih-lebih untuk karisma yang atributif minus substansi. Karisma yang semu, yang semata-mata ornamental.

Bagi kultur masyarakat modern yang rasional, karisma dianggap hal yang artifisial, permukaan semata. Boleh jadi apa yang selama ini disebut karisma, sekadar pencitraan atau konstruksi yang dibuat oleh masyarakat semata. Bahwa karisma tidak lebih sebagai bangunan sosial bikinan masyarakat, yang kemudian dijadikan kemutlakan sosiologis yang seakan niscaya. Kontruksi karisma bersama pranata-pranata karismatiknya biasanya dilanggengkan dalam kultur masyarakat tribal dan agraris pedesaan, yang serba niscaya
Banyak orang menganggap Weber sebagai seorang romantis, seorang yang merusak ketentraman yang berlaku, orang yang membatalkan adat. Seorang yang berkharisma adalah seorang yang berdiri di atas adat itu (memperbaharui) adat, atau menimbulkan perpecahan dunia. Orang berkharisma selalu dianggap negatif, seseorang yang mengadakan keretakan (breaktrough). Kharisma menyajikan kemerdekaan yang baru dan menuntut ketaatan yang baru.

Gejala kharisma pada umumnya muncul pada waktu krisis, wktu perang atau pada waktu kebudayaan saling bertentangan, terutama disebabkan masalah akulturasi. Kharisma selalu menyebabkan perubahan sosial. Situasi masyarakat sebelum kharisma tidak pernah sama setelah kharisma.
Dalam analisis Max Weber tentang kharisma, kita melihat fenomena ini dengan apa yang di sebut Durkheim sebagai hal yang suci dan hal yang kudus (the holy) oleh Otto. Dalam kharisma kita melihatya suatu titik kritis yang pasti ada dalam dunia "sehari-hari, berupa sesuatu yang erat berhubungan dengan seseorang yang luar biasa dan mendatangkan kewajiban.

Weber membatasi kharisma sebagai:
"…….suatu kualitas tertentu dalam kepribadian seseorang dengan mana dia dibedakan dari orang biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang memproleh anugrah kekuasaan adikodrati, adimanusiawi, atau setidak-tidaknya kekuatan atau kualitas yang sangat luar biasa. Kekuatannya sedemikian rupa sehingga tidak terjangkau oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai berasal dari kayangan atau sebagai teladan dan atas dasar itu individu tersebut diperlakukan sebagai seorang pemimpin".

Bagi Weber kharisma memainkan dua peranan yang sangat menonjol dalam kehidupan. Sebagai hal yang luar biasa, kharisma merupakan sumber kegoncangan dan pembaharuan, karena itu merupakan unsure strategis dalam perubahan social. Dalam memproleh para pengikutnya dan dalam menimbulkan rasa hormat, sumber asli dalam wewenang itulah yang membuat ia dihormati, diterima,dan diikuti secara sukarela. Fenomena kharismatik, walau dihubungkan dengan manusia kongkrit, menyampaikan kepada siapa yang sensitive terhadap "himbauan" mereka, aspek-aspek dan implikasi serba empiris.

Kharisma melahirkan panggilan-panggilan, dan mereka yang karena sebab apapun dapat mendengar panggilan ini akan menanggapinya dengan keyakinan. Para pengikut ini merasa bahwa adalah "kewajiban mereka yang terpanggil pada suatu misi kharismatik untuk mengakui kualitasnya dan bertindak sesuai dengan kharisma itu". Kepemimpinan kharismatik "berada di luar suasana profan dan dunia rutin sehari-hari". Merupakan dunia yang sangat luar biasa bila debedakan dengan dunia sehari-hari. Dunia yang suci dan sangat berbeda dengan dunia profan. Seperti halnya dalam analisa Otto tentang hal kudus sebagai sesuatu yang berada di luar pertimbangan etika, analisa Weber tentang kharisma secara etis tetap netral.

Seperti halnya analisa Durkheim tentang hal yang suci yang di anggap sangat berbeda dengan dunia keseharian kerja, analisa Weber tentang kharisma secara etis tetap netral. Seperti halnya analisa Durkheim tentang hal yang suci yang dianggap sangat berbeda dengan keseharian kerja, analisa Weber memandang kharisma sebagai "sesuatu yang sama sekali sangat berbeda dengan pertimbangan ekonomis". Kharisma murni sangat berbeda dari lembaga-lembaga masyarakat yang telah mapan. "dari sudut pandang substantif, setiap kekuasaan kaharismatik harus tunduk terhadap proposisi" "itu tertulis…….., tetapi saya katakana pada anda…."

Fenomena kharismatik tidak stabil dan temperatur, dan eksistensinya berjalan terus hanya bila di rutinkan, yakni bila ditransformir atau dipadukan ke dalam struktur rutin yang di lembagakan dalam masyarakat. Rutinisasi demikian itu dapat berkembang kearah rasional dan birokratis atau ke arah tradisional, dan karena itu melahirkan wewenng tradisional dan rasional. Unsure kharismatik yang telah masuk ke dalam struktur social yang di mapankan inilah yang menjadi dasar pengedahan wewenang yang mapan. Disini Weber menunjukkan fungsi hal yang suci itu dalam pengendalian social, yakni memperkuat kembali norma masyarakat dan struktur-struktur wewenangnya. Legitimasi dianggap di proleh dari "suatu acuan transendental" yang berasal dari pengalaman kharismatik dan dibawa ke dalam perkembangan struktur social yang berasal dari pengalaman tersebut . agama-agama yang didirikan, dengan isu khusunya dalam organisasi keagamaan, sebagaimana di bedakan dari sakralisasi "kelompok-kelompok natural" seperti keluarga dan masyarakat, berasal dari pengalaman pengikut dengan pemimpin kharismatik. Kharisma diturunkan dari pengalaman tertentu tentang hal yang suci yang menyatu dalam diri seorang manusia yang dianggap luar biasa.

Dalam semua analisis Marx Weber terdapat tiga ciri khas pokok yang menggambarkan kharisma. Kharisma adalah sesuatu yang "luar biasa", yakni sesuatu yang sangat berbeda dari dunia sehari-hari; ia bersifat spontan sangat berbeda dengan bentuk-bentuk social yang stabil dan mapan; dan merupakan suatu sumber dari bentuk serta gerakan baru, dan karena itu dalam arti sosiologis dia bersifat kreatif perlu diingat bahwa ketiga karakteristik ini erat berdampingan dengan atribut-atribut yang oleh ahli teologi dalam tradisi Yahudi-Kristen dan islam telah diatributkan pada Tuhan. Tuhan dianggap sangat berbeda dari ciptaannya –sesuatu yang "sama sekali lain" (wholly other), bila kita menggunakan istilah Otto, ia dipandang sebagai "the living god" dalam arti teologi alkitabiah, dan sebagai "pure sct" (Action Purus) dalam teologi yang di pengaruhi oleh konsep-konsep Aristoteles, yaitu dimana tidak ada hal yang tidak sadari yang tidak mempunyai masa lampau maupun masa mendatang, tetapi suatu keadaan di mana kehidupannya abadi yang "sekarang" tak terbatas dan dialah pecipta semua makhluk.

Dalam pengkajian tentang hal suci atau hal kudus dan tentang fenomena kahrisma, kita telah mengkaji suatu aspek penting dalam pengalaman keagmaan. Dalam pengalaman keagamaan manusia memberikan tanggapan terhadap hal yang luar biasa, kekuasaan, spontanitas, dan kreativitas. Tanggapan manusia ditandai oleh adanya penghormatan yang dalam dan daya tarik yang besar. Dari pengaaman keagamaan ini lahirlah bentuk-bentuk pemikiran, perasaan, tindakan dan hubungan yang stabil. Kita telah langkah pertama dalam memahami pengalaman keagamaan –dan tanggapan khas yang di berikan manusia terhadap tuan yaitu menghormati dan penuh kagum. Dengan cara ini kita telah memulai pembicaraan tentang titik kritis yang berada pada inti masalah agama.

Fenomena kharisma dan kepemimpinan kharismatik, seperti dikatakan oleh loewenstein, dapat ditemukan di suatu wilayah dimana keyakinan rakyat pada kekuatan supranatural masih meluas, seperti, misalnya, di Indonesia. Berbeda dengan loewnstin, Edward shilis melihat adanya unsure kharismatik dalam setiap masyarakat. Secara umum dari uraian tersebut diatas, sekali lagi Weber mendifinisikan kharisma sebagai "kualitas tertentu seorang individu yang karenanya ia jauh berbeda dengan orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan supranatural, manusia super atau setidaknya luar biasa. Tetapi semua itu dianggap berasal dan bersumber dari tuhan, dan atas dasar itu, individu yang bersangkutan diperlakukan sebagai pemimpin".
 Menurutnya pula kharisma adalah sebagai kekuatan inovatif dan revolutif, yang menentang dan mengacaukan tatanan normative dan politik yang mapan. Otoritas kharismatis didasarkan pada person ketimbang hukum impersonal. Pemimpin kharismatik menuntut kepatuhan dari para pengikutnya atas dasar keunggulan personal, seperti misi ketuhanan, perbuatan-perbuatan heroik dan anugrah yang membuat dia berbeda.

Institusionalisasi kharisma dapat di peroleh melalui beberapa cara, misalnya, bisa melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh keyakinan tradisional, kharisma banyak diturunkan melalui hubugan darah. Kharisma yang dimiliki oleh megawati, rachmawati, dan sukmawati, yang ketiganya memimpin partai dengan ideologi sukarnoisme, diwarisi dari bapaknya, sukarno tokoh proklamator yang sangat kharismatik. Para pendukungnya sangat setia kepada mereka kerap kali tidak disadari pada pertimbangan rasional, tetapi lebih pada ikatan-ikatan emosional dan kharisma bapanya.

Satu contoh yang mungkin juga representatif untuk menjelaskan kharisma dan kepemimpinan kharismatik adalah kharisma yang dimiliki oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mewarisi kharisma melalui hubungan darah, keturunan, dan institusi, diamping pengetahua Gusdur yang mendalamtentang masalah-masalah social-politik-keagamaan. Sepak terjang Gusdur dalam banyak bidang, baik pemikiran keagamaan maupun masalah-masalah kemanusiaan dan demokrasi, telah banyak mengguncang tatanan normative masyarakat islam tradisional NU. Timbulnya para pemikir liberal di kalangan NU yang pernah dipimpimnya, paling tidak, berkat kepemimpinan Abdurrahman Wahid.

Abdurrahman Wahid yang lahir di Denanyar Jombang Jawa Timur, 4 Agustus 1940, mempunyai seorang kakek yang kharismatik, yaitu Hasyim Asy’ari, yang merupakan salah satu dari pemimpin muslim terbersar Indonesia pada pergantian Abad lalu, dan dan seorang ayah, Wahid Hasyim yang juga merupakan tokoh penting dan pernah menjabat posisi menteri agama pada 1945.

Sebagai cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur mewarisi kharisma moyangnya. Hasyim Asy’ari dekenal sebagai seorang penggalang Islam tradisional yang sangat berpengaruh. Ia mendirikan sebuah organisasi yang sampai saat ini masih mempengaruhi pola hidup sebagian besar umat Islam Indonesia. Ucapan-ucapannya dita’ati oleh para pengikutnya, terutama dikalangan orang-orang NU.

Disamping itu, jika ditelusuri kebelakang, kharisma tersebut ternyata dapat ditemukan juga pada nenek moyangnya. Gus Dur ternyata memiliki keturunan yang sangat berpengaruh dan berdarah biru. Nenek moyang dari Gus Dur, dapat ditelusuri sampai kepada syeh Ahmad Mutamakkin, seorang yang dipercaya sebagai "waliyullah" (derajat tertinggi dan terhormat dalam keyakinan umat Islam) dan yang merupakan ulama controversial zaman Mataram Kertosuro, Abad ke-18. Syeh Mutamakkin dipercaya juga merupakan keturunan dari orang yang sangat legendaries di tanah Jawa yang juga raja Pajang, yaitu Joko Tingkir, cicit Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir.

Rutinisasi kharisma melalui keturunan inilah yang membuat para pengikut Gus Dur sangat loyal, bahkan sekalipun sinyalemen-sinyalemen Gus Dur seringkali sulit difahami dan membingungkan banyak orang. Masyarakat tradisional NU bahkan berani mati untuk mendukung tokoh ini. Ini terbukti dengan dibentuknya "pasukan berani mati" untuk membela Gus Dur dari upaya-upaya yang inign menjatuhkan kekuasaannya. Gus Dur cenderung di sakralkan hal ini terlihat ketika ia banyak mengecewakan para ulama karena pendapat-pendapatnya yang controversial ia tetap lolos sebagai president bahkan ketika setelah ia digulingkan ia kembali menjadi ketua PBNU. Pengaruh pemikirannya juga sangat luas sehingga banyak kalangan kaum muda NU yang tersemangati olehnya sehingga yang kita kenal selama ini telah berdiri Lembaga Kajian Islam Strategis LKIS, dan yang paling menarik dan controversial adalah berdirinya kelompok diskusi Jaringan Islam Libral JIL.

KesimpulanDari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa gagasan sosiologi Weber penekanannya terletak pada tindakan social, makna subjektif dan sosiologi bebas nilai. Dan ini dapat dilihat ketika Weber melakukan analisa tentang pengaruh agama dalam tindakan social seorang individu. Ternyata, menurut Weber, ada hubungan yang sangat erat antara etos kerja kaum Calvinis dengan semangat kapitalisme modern. Kendati demikian, tesis Weber tntang etika Protestan tidaklah sepi dari kritik. Kritik tersebut pada dasarnya di arahkan kepada korelasi yang tidak tepat antara antara protestantisme dan kepitalisme berdasarkan bukti-bukti empirik, dan kepada penggambaran Weber yang tidak cermat mengenai ajaran-ajara Calvinis. Kendati demikian, terlepas dari berbagai kritik yang diarahkan kepadanya, Weber telah menggagas ide-ide besar yang sangat berpengaruh dalam dunia ilmu-ilmu sosial.

Tesis Weber tentang kharisma dan kepemimpinan kharismatik dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh keyakinan-keyakinan tradisional masih dapat diterapkan. Contoh yang representatif adalah Gus Dur yang mewarisi kharisma melalui hubungan darah, keturunan dan institusi, yang kepemimpinannya serta gebrakannya dalam pemikiran keagamaan dan masalah-masalah kemanusiaan mewarnai dan mengubah pola pikir masyarakat NU, terutama kalangan anak mudanya yang antusias dan dinamis. Wallahu a’alm

0 komentar: