Senin, 10 Desember 2007

Langkah Solutif dan Strategis Untuk Papua


Oleh: M. Agus Budianto



"KEBERADAAN Papua dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final. Oleh karena itu, semua Negara harus menghormati kedaulatan Indonesia". Demikian pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tengah lawatannya ke China beberapa waktu yang lalu. Pernyataan itu merupakan reaksi keras terhadap manuver politik yang dilakukan Komite Relasi Internasional dari Hous Representatives, AS. (Kompas, 31/07/05)

Sebagaimana diketahui bersama, Rancangan Undang-Undang Nomor 2601, dalam waktu dekat akan di bahas Komite itu, mempertanyakan evektifitas status otonomi khusus (Otsus) untuk Papua. Bahkan, ada keinginan sebagian senator AS yang tergabung dalam Komite tersebut untuk menggugat keberadaan wilayah Papua dan mendukung kebebasan atas Papua dari NKRI. RUU tersebut di perakarsai oleh dua anggota Kongres AS, yaitu Donal M Payne dan Eni FH Faleomavaega, yang mencoba menggalang kekuatan untuk kemerdekaan Papua.

Mereka berpendapat bahwa pemberian status Otsus di Papua, berdasarkan pada UU No 21/2001 tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita masyarakat Papua. Bahkan, masyarakat Papua sendiri merasa kecewa dan tertipu, mengingat selama lebih kurang 40 tahun Papua bergabung dalam NKRI, Otsus itu belum pernah terealisasi dengan benar. Belum lagi dikaitkan dengan masalah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), yang diadakan untuk membuat warga memilih untuk tidak atau tetap berada di wilayah RI.

Masalah Papua hingga kini masih belum berakhir. Walaupun pemerintah sudah memberikan status Otsus terhadap masyarakat Papua namun hingga kini problematika yang melingkupi mereka belum juga berakhir. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi masalah tersebut? Dan bagaimana memecahkan masalah tersebut?
Dalam pandangan penulis, akar masalah di Papua paling tidak dipicu oleh persoalan historisitas Papua. Berdasarkan pada hasil Pepera, yakni kesepakatan bersama antara Indonesia dan Belanda di kantor PBB. Tercatat pula dalam kesepakatan tersebut, pada tahun 1969 diadakanlah PEPERA atau referendum. Namun Pepera ini hanya melibatkan 1.206 orang, dari delapan kabupaten yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita. Yang kemudian orang-orang inilah yang mewakili masyarakat Papua untuk menentukan masuk ke kesatuan RI atau merdeka.

Persoalan kemudian timbul, masyarakat Papua menggugat hasil Pepera tersebut, karena mereka yang ikut dalam Pepera itu tidak dapat mencerminkan keterwakilan mayoritas masyarakat papua. Bahkan, masyarakat Papua menilai hasil Pepera bertentangan dengan aturan yang ada di mana suatu penetuan pendapat rakyat atau referendum itu haruslah melibatkan seluruh rakyat dan bukan sebagian masyarakat.

Problem Solving
Meski RUU 2601 tersebut masih harus dibahas untuk disetujui atau ditolak oleh kongres AS dan Senat, hal itu telah menimbulkan kehebohan di kalangan pemerintah dan rakyat Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia seyogyanya melakukan evaluasi dan koreksi. Pertama pemerintah Indonesia harus mampu melaksanakan otonomi khusus secara penuh serta harus punya keinginan untuk memperbaiki kelemahan dan kekurangannya selama 40 tahun itu. Karena itu, memang menjadi tantangan bagi pemerintah adalah bagaimana mengimplementasikan amanat UU No 21/2001 tersebut, agar rakyat Papua sendiri tidak lagi merasa dibohongi.

Kedua, pemerintah harus segera merespon serta mengadakan rapat terkait Papua tersebut karena persoalan ini menyangkut keutuhan NKRI. Penulis sangat sepakat atas usaha dari ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid untuk meminta DPR segera membahas secara khusus masalah Papua, agar bisa segera ditangani. Hidayat yang juga mantan Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu meminta kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan sikap penolakan terhadap campur tangan asing. Yakni, dengan cara menyampaikan sikap itu melalui forum-forum internasional. Bisa di PBB maupun pada masyarakat Papua sendiri.

Ketiga, selain mengadakan rapat terkait dengan Papua, pemerintah juga harus segera mengirim delegasi khusus ke kongres AS guna membahas sikap pemerintah AS yang bersikap ganda. Di satu sisi Presiden George W Bush kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menyatakan mendukung kesatuan Indoneasia serta mengecam keras bagi setiap upaya yang ingin memisahkan Papua dari NKRI. Namun, di sisi lain, AS melalui Hous Representatif-nya justru menggalakkan kemerdekaan masyarakar Papua. Ini merupakan penghianatan sekaligus bentuk interfensi AS terhadap urusan dalam negri Indonesia. Delegasi khusus itu bertugas guna melobi kongres AS atas permasalahan Papua, government to government atau parliament to parliament untuk menyatakan secara tegas bahwa Papua adalah bagian dari NKRI.

Hemat penulis, ketiga langkah tersebut di atas, bila benar-benar dilaksanakan dengan baik dan benar, maka persoalan Papua akan segera teratasi. Selanjutnya, pemerintah Indonesia harus mampu memperhatikan dan memperbaiki Papua secara serius, misalnya menggiatkan pembangunan di Papua, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di Papua dan kesejahteraannya. Bila itu sudah dapat ditangani dengan baik, maka intervensi asing terhadap Papua bisa di eliminasi dan masyarakat Papua tetap masuk dalam NKRI.

Indonesia harus tetap percaya diri dengan kebijakan pemberian otonomi khusus bagi Papua yang merupakan jalan terbaik. Sebab itu, pemerintah harus terus mengimplementasikan amanat UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua secara konsekuen dan mampu menyelesaikan kasus Papua ini dengan langkah-langkah kongkrit dan solutif. Hal itu penting guna meningkatkan dan memperkuat integritas wilayah Indonesia mengingat terlepasnya Sipadan-Ligitan dan Timor Timur dari NKRI. Dengan demikian otonomi khusus serta perbaikan di segala bidang, akan membawa Papua sebagai provinsi yang maju dan makmur serta tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wallahu wa’lam.

0 komentar: