Judul Buku: Menggugat Arogansi Kekeristenan
Judul Asli: Jesus And The Other Names: Christian Mission And Global Resposnsibility.
Penulis: Paul F. Knitter
Penebit: Kanisius
Cetakan: I, 2005
Tebal: 329 Halaman
Peresensi: M. Agus Budianto
Judul Asli: Jesus And The Other Names: Christian Mission And Global Resposnsibility.
Penulis: Paul F. Knitter
Penebit: Kanisius
Cetakan: I, 2005
Tebal: 329 Halaman
Peresensi: M. Agus Budianto
SECARA esensial wacana Pluralisme Agama-Agama muncul sebagai Counter atas merebaknya berbagai isu konflik di berbagai daerah yang meng-atas-namakan Agama. Konflik Agama ini di tengarai telah masuk pada berbagai lini. Dinyatakan demikian karena tidak hanya pada persoalan Agama namun juga di banyak kasus konflik ini juga di pengaruhi dari faktor budaya,pendidikan, ekonomi, ras dll.
Pluralisme sendiri mencoba menawarkan suatu upaya pemahaman Inklusifisme yang berujung pada upaya pembenaran dan kesadaran toleransi terhadap keyakinan iman yang lain. Namun pada satu sisi ia juga mengandung akan pemahaman Eklusifisme dalam memandang suatu agama yang lain. Jelasnya bilamana seseorang terjebak di antara keduanya maka di satu sisi ia akan menjadi kelompok yang berhaluan "Singkretisme Agama", dan di satu sisi ia akan menjadi kelompok "Ekstrimis-Fundamentalis". Itu sebabnya konsep Pluralisme Agama-Agaama tersebut banyak menuai kritik dan di tolak oleh sebagian golongan. Banyak di antara mereka lebih sepakat dengan istilah Pluralitas Agama-Agama, karena ia lebih mengandug makna yang yang halus dan berkeadilan.
Terbukti, konsep Pluralisme gagal sebagai sebuah upaya penyelesaian konflik keagamaan, muncul wacana baru yang sampai saat ini ngetren di gemakan, yaitu wacana Multikulturalisme. Multikulturalisme disini di ambil dari kata "multi dan kultur" yang penulis sederhanakan bermakna "Keragaman Budaya". Penulis mengartikan demikian karena keberadaan akan "Keragaman Budaya" sendiri juga tak lepas dari faktor Agama, Budaya, Ekonomi, Pendidikan maupun Ras yang melingkupinya.
Multikulturalisme Agama-Agama menawarkan konsep yang lebih adil. Karena ia mempunyai pemahaman akan penilaian yang sederajat dan merata terhadap perbedaan yang ada tanpa embel-embel ada yang benar dan yang lebih benar.. sebagaimana pluralitas ia lebih diterima dari pada Pluralisme yang bilamana kita coba perdalam, samar ia masih mengandung adanya penilaian yang perioritas dan yang tidak prioritas, benar dan yang paling benar, dalam arti ada keakuan di dadalamnya.
Meski dia tergolong baru dan terlihat hampir tidak ada cacat akan tawaran konsep yang di ususngnya, Multikulteralisme tetaplah belum fainal sebagai sebuah konsep yang humanis dan permanen. Karena Multikulturalisme dalam tahapan-tahapan selanjutnya ia lebih berorientasi pada "Live In" (Usaba Perbaikan Iman Kedalam) yang justru puncaknya nanti ia akan lebih mengarah kepada keesklusifan pada pribadi masing-masing golongan terhadap golongan yang lain, begitupun sebaliknya. Tegasnya kedua konsep tersebut baik pluralisme maupun muktikulturalisme belumlah satu hal yang bisa dikatakan sebagai sebuah Problem Solving yang valid dan permanen.
Dalam upaya menengahi kedua wacana diatas Knittter dalam bukunya mencoba mengusung konsepnya tentang perlunya adanya sebuah pertemuan yang intensif dan koheren untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan yang ada. Knitter menamakannya "Dialog Agama-Agama Yang Korelasional Dan Bertanggung Jawab Secara Global". Sebuah model dialog yang mendorong agar setiap orang beragama berusaha untuk mengenal dan berbicara satu sama lain atas dasar komitmen terhadap kesejahteraan manusiawi serta ekologi yang sama. Pemaknaan Global di sini mencakup, baik gagasan pembebasan sebagaimana dimaksudkan oleh teolog pembebasan tradisional dalam mengusahakan keadilan sosial bagi manusia maupun gagasan yang lebih luas.
Meski demikian Dialog yang bertanggung jawab secara global merupakan bentuk kesadaran akan perjumpaan antar iman tidak akan lengkap dan mungkin akan berbahaya bilamana tidak mencakup keprihatinan serta usaha untuk mengatasi penderitaan manusia dan ekologi yang merata di dunia.
Dialog korelasional mengandaikan bahwa agama-agama sungguh bebrbeda; tanpa perbedaan yang sesungguhnya, dialog menjadi tindakan berbicara di hadapan cermin. Peserta dialog akan memberi kesaksian mengenai apa yang membuat mereka berbeda, mencoba menunjukkan dan meyakinkan peserta yang lain mengenai nilai-nilai yang mereka dapatkan dalam tradisi mereka. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka akan secara sungguh berani terbuka pada kesaksian akan kebenaran yang di berikan peserta yang lain kepada mereka. Yang pad nantinya akan membentuk suatu korelasi dari proses dialog yang timbal-balik: berbicara dan mendengarkan, mengajar dan belajar, memberi dan diberi.dll.
Suatu dialog korelasional semacam itu dapat terwujud bilamana pertemuan dialogis tersebut diadakan dalam masyarakat yang Egaliterian dan bukan pada masyarakat yang Hirarkis. Dialog korelasional juga tidak dapat dimulai dengan suatu agama yang memandang diri sebagai pemegang kartu as atau merasa diri lebih baik dalam segala hal dari pada yang lain atau mempunyai norma akhir yang akan menyingkirkan atau menampung norma-norma yang lain. Dialog antar iman akan gagal apabila salah satu agama secara apriori memandang dirinya lebih unggul dalam segala hal dari pada agama yang lain, sehingga agama trsebut tidak mau atau mampu belajar dari agama lain.
Meski pada awalnya knitter adalah seorang anggota komunitas internasional Societas Verbi Divini (SVD) sebagai misonaris tetap pada akhirnya ia menyadari bahwa kebenaran adalah milik smua. Ia mendukung upaya dari konsili vatikan II yang di fasilitasi oleh Paus Yohanes XXIII akan pengakuan kebnaran Agama-Agama di luar Kristen. Yang tertuang dalam dokumen "Sub Secreto" (konfidensial), yang berjudul "Pernyataan Tentang Hubungan Gereja Dan Agama-Agama Non Kristen" terdapat pernyataan posiif. Mengenai kebenaran dan nilai-nilai Agama Hindu, Budha, dan Islam, yang sebelumnya tidak pernah mengisi dokumen Gereja.
Menurutnya ia tidak hanya membuka jendela yang lama terkunci dalam Gereja Roma. Tetapi sekaligus juga mengetuk melalui tembok-tembok dan secara tidak langsung mengundang pembaruan atas model dan kebiasaan yang lama. Oleh karenanya pemahaman mengenai Yesus sebagai satu-satunya jalan dan kebenaran sudah selayaknya untuk di revisi dan dikaji kembali. Baik di buku pertamanya One Erth Many Religion (Satu Bumi Tiga Agama) dan buku ini sama-sama Knitter menyayangkan akan di balik upaya dialog antar Iman sabagai salah satu hasil dari Konsili Vatikan II tersebut mempunyai maksud sebagai perpanjang tanganan dari upaya misi Kristenisasi, namun perbedaannya adalah pada praksisnya di lapangan, Kalau dulu melakukan upaya pengkristenan dengan secara terang-terangan, kini ia mempengaruhinya secara tertutup. Yaitu dengan pola mempengaruhi secara intlektual maupun moral, karena bagi knitter misi tetaplah misi.
Kritik dan analisis yang di tawarkan dalam buku ini sangat menggelitik dan menggigit. Karenanya Buku ini layak di baca oleh semua kalangan, mengingat Kritik dan ide besarnya benar-benar relevan dan populis.
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Religiosa, Vol. I. No. 2. Feb. 2006. Hlm: 62-63